Apa yang bisa kita harapkan
dari kata revitalisasi ? Mengajak
seseorang untuk melakukan sesuatu, atau mempengaruhi orang lain untuk
memikirkan sesuatu atau kedua-duanya, memikirkan dan melakukan sesuatu (bagi
tradisinya dan berguna untuk masyarakat banyak).
Suatu diskusi di sore hari
di warung simak, yang bertempat di pinggir jalan di samping kantor Kecamatan
Batang, tepat di depan Kantor Kementrian Agama Kabupaten Batang. Di awali
dengan perkenalan penuh canda dan tawa, kemudian di bukalah suatu pendahuluan
tentang film Rangsa Ni Tonun ini, lalu mengalirlah kisah dari sebuah
pendaftaran diri sang sutradara kepada antropolog Belanda-Kanada, untuk
menemani selama meneliti tenun ulos Batak, selama kurang lebih tiga tahun,
semua kenyataan dirasakan dan dilalui, lalu menghasilkan buku Legacy Of Cloth dari
pemikiran Sandra Niessen, lalu lahir pula buku Berkelana Dengan Sandra oleh Mja
Nashir, yang disusul dengan film Rangsa Ni Tonun yang didukung oleh grup musik Suarasama (yang
disutradarai oleh Mja Nashir, atas bantuan dari Sandra Niessen selaku
produser).
Sebuah film yang dibuka
dengan terbangnya kapas-kapas ke udara, saling menindih, saling berpilin, lalu
muncullah suara seruling sayup-sayup dari grup suarasama, menggetarkan hati,
mengajak untuk berhati-hati dalam memilih kapas, memintal kapas, mewarnai
benang, melerai dan menjemurnya, hingga disusun menjadi tenun. Suara
jeglik-jeglik, menimbulkan rasa kemanusiaan, hubungan kekhusukan dengan
lingkungan yang juga menghargai hasil karya manusia yang halus, hingga merasuk
ke dalam hati, memancarkan pesona seni hingga yang memandangnya pun ingin menyentuhnya
lalu memilikinya.
Ketika film selesai diputar,
ada yang bertanya tentang huruf-huruf batak yang dinyanyikan dengan nada yang
menyentuh, Mja Nashir hanya menjelaskan bahwa sebenarnya di jawa pun banyak
karya-karya pujangga yang belum digali secara serius, misalnya suluk-suluk
sastra jawa yang berbau mistik, yang berbahasa jawa kuno (kawi), berhuruf
honocoroko, atau pegon (huruf arab-berbahasa jawa) yang dulu selalu dinyanyikan
dengan langgam jawa, mocopatan dan lain-lain. Dan kita pun tidak mau terjebak
dengan perdebatan lain seputar suara lantunan al-qur’an dengan langgam jawa, tetapi
kita memilih asyik menikmati lirik-lirik lagu yang disuarakan dengan bahasa
batak, tentang tenunan ulos yang halus, yang mendetil.
Lalu ada yang bertanya
tentang revitalisasi tradisi, dan Mja Nashir pun menjawab : sebenarnya masalah
kebudayaan kita tentang tradisi itu sama saja di semua tempat, bukan hanya
tentang sulitnya masyarakat dalam mendapatkan kesempatan yang layak tentang
pengetahuan tradisinya, tetapi juga berkaitan dengan masalah ekonomi yang
melanda warga setempat, sehingga mereka banyak yang meninggalkan pekerjaan
menenun, bahkan merantau, mungkin sudah bukan jamannya menenun lagi. Dari sini
kita melihat bahwa mja nashir,mungkin
salah satu orang dari generasi yang lahir tahun 1980-an yang dibesarkan
di kota ini, yang mengalami banyak
perubahan cara pandang, yang mungkin dipengaruhi oleh banyak gaya pembangunan
Orde Baru, yang selalu saja digoda oleh semangat konsumtif yang materialistis
dan bahkan pemikirannya pun sekular, yang secara logika bisa mencabut dirinya
dari akar-akar kehidupan tradisinya di tengah arus globalisasi. Tapi kemudian perlahan-lahan
memberontak secara kejiwaan, terhadap kondisi masyarakatnya, yang seolah-olah
seperti terasing, yang merupakan dampak langsung dari setiap proses pembangunan
ekonomi industrial yang berlangsung cepat.
Ada pula yang bertanya
tentang eksploitasi lingkungan, demi keuntungan segelintir orang, Mja Nashir pun
menjawab melalui film ini, yang secara visual tampak sepertikegelisahan dirinya
dalam memandang realitas sehari-hari, tentang kehidupan yang mentradisi yang
hilang dalam sekejap karena arus globalisasi, karena ketidakmampuan kita dalam
mempertahankan apa yang kita yakini, ketika kita mengkampanyekan untuk mencintai
produk indonesia, mja nashir sudah lebih dulu untuk kembali ke akar kehidupan
sosial psikologis mereka yang tradisional. Mereka yang ada di perkampungan
batak pun bangkit dan bergabung untuk membentuk kelompok-kelompok relawan yang mengerjakan
kembali tradisi nenek moyang mereka selama ratusan tahun, lalu mereka namakan proyek
pulang kampung,bersama sandra niessen tentunya, dalam rangka mengembalikan rasa
kepercayaan diri mereka yang telah diporak-porandakan oleh proses urbanisasi.
Mereka memulihkan kembali identitas mereka sebagai manusia batak yang telah
dilunturkan oleh proses modernisasi.
Di luar sana, ketika banyak
yang menggunjingkan islam nusantara, kita malah saling berbagi tentang
pengalaman keislaman kita secara tidak langsung, ketika kita latah menyuarakan
hijab atau jilbab,bahkan ketika si raja dangdut mendeklarasikan partai idaman,
kita justru larut dalam peristiwa diskusi budaya, agar politik tidak
mengacak-acak keindonesiaan kita. Perubahan kualitas inilah yang seharusnya melahirkan
perubahan budaya yang bisa merevitalisasi tradisi kita, dan mja nashir bersama
kawan-kawangenerasi 1980-ansebagai anak-anak revolusi informasi, memberikan
sumbangan itu, walau harus disempurnakan lagi.
2 hari sebelum lebaran, kita
pun sering mendengarkan lagu Selamat Lebaran, yang ditulis oleh Ismail Marzuki,
yang mengalun di banyak tempat. Mengingatkan kita tentang sepuluh hari terakhir
dalam malam-malam ramadhan, yang membuat kita ingat pada-Nya, namun kita malah lebih khusyuk jika beri’tikaf
di mall atau supermarket sambil menawar kurma-kurma dan baju koko. Dan kita pun
gembira menyambut lebaran, seperti seorang wartawan yang menulis berita singkat
tentang NU dan Muhammadiyah yang berlebaran pada tanggal yang sama,
alhamdulillah.
Akhir film ini, yang dipersembahkan kepada penenun-penenun
yang ada di kampung-kampung, yang memberikan inspirasi kepada beberapa pemikir
dan pemuda batak, juga lainnya, tentang pentingnya nilai dari tradisi tenunan
ulos batak ini, dinegeri kita, juga berharga di mata dunia, membuka mata kita
semua.
Agus Supriyanto
Kab.Batang, 15 juli
2015.