Rabu, 29 Juli 2015

Catatan Dari Acara Pemutaran Film Dan Diskusi “Upaya Revitalisasi Tradisi Melalui Film Rangsa Ni Tonun”

Apa yang bisa kita harapkan dari kata revitalisasi ?  Mengajak seseorang untuk melakukan sesuatu, atau mempengaruhi orang lain untuk memikirkan sesuatu atau kedua-duanya, memikirkan dan melakukan sesuatu (bagi tradisinya dan berguna untuk masyarakat banyak).

Suatu diskusi di sore hari di warung simak, yang bertempat di pinggir jalan di samping kantor Kecamatan Batang, tepat di depan Kantor Kementrian Agama Kabupaten Batang. Di awali dengan perkenalan penuh canda dan tawa, kemudian di bukalah suatu pendahuluan tentang film Rangsa Ni Tonun ini, lalu mengalirlah kisah dari sebuah pendaftaran diri sang sutradara kepada antropolog Belanda-Kanada, untuk menemani selama meneliti tenun ulos Batak, selama kurang lebih tiga tahun, semua kenyataan dirasakan dan dilalui, lalu menghasilkan buku Legacy Of Cloth dari pemikiran Sandra Niessen, lalu lahir pula buku Berkelana Dengan Sandra oleh Mja Nashir, yang disusul dengan film Rangsa Ni Tonun  yang didukung oleh grup musik Suarasama (yang disutradarai oleh Mja Nashir, atas bantuan dari Sandra Niessen selaku produser).

Sebuah film yang dibuka dengan terbangnya kapas-kapas ke udara, saling menindih, saling berpilin, lalu muncullah suara seruling sayup-sayup dari grup suarasama, menggetarkan hati, mengajak untuk berhati-hati dalam memilih kapas, memintal kapas, mewarnai benang, melerai dan menjemurnya, hingga disusun menjadi tenun. Suara jeglik-jeglik, menimbulkan rasa kemanusiaan, hubungan kekhusukan dengan lingkungan yang juga menghargai hasil karya manusia yang halus, hingga merasuk ke dalam hati, memancarkan pesona seni hingga yang memandangnya pun ingin menyentuhnya lalu memilikinya.

Ketika film selesai diputar, ada yang bertanya tentang huruf-huruf batak yang dinyanyikan dengan nada yang menyentuh, Mja Nashir hanya menjelaskan bahwa sebenarnya di jawa pun banyak karya-karya pujangga yang belum digali secara serius, misalnya suluk-suluk sastra jawa yang berbau mistik, yang berbahasa jawa kuno (kawi), berhuruf honocoroko, atau pegon (huruf arab-berbahasa jawa) yang dulu selalu dinyanyikan dengan langgam jawa, mocopatan dan lain-lain. Dan kita pun tidak mau terjebak dengan perdebatan lain seputar suara lantunan al-qur’an dengan langgam jawa, tetapi kita memilih asyik menikmati lirik-lirik lagu yang disuarakan dengan bahasa batak, tentang tenunan ulos yang halus, yang mendetil.

Lalu ada yang bertanya tentang revitalisasi tradisi, dan Mja Nashir pun menjawab : sebenarnya masalah kebudayaan kita tentang tradisi itu sama saja di semua tempat, bukan hanya tentang sulitnya masyarakat dalam mendapatkan kesempatan yang layak tentang pengetahuan tradisinya, tetapi juga berkaitan dengan masalah ekonomi yang melanda warga setempat, sehingga mereka banyak yang meninggalkan pekerjaan menenun, bahkan merantau, mungkin sudah bukan jamannya menenun lagi. Dari sini kita melihat bahwa mja nashir,mungkin  salah satu orang dari generasi yang lahir tahun 1980-an yang dibesarkan di kota ini,  yang mengalami banyak perubahan cara pandang, yang mungkin dipengaruhi oleh banyak gaya pembangunan Orde Baru, yang selalu saja digoda oleh semangat konsumtif yang materialistis dan bahkan pemikirannya pun sekular, yang secara logika bisa mencabut dirinya dari akar-akar kehidupan tradisinya di tengah arus globalisasi. Tapi kemudian perlahan-lahan memberontak secara kejiwaan, terhadap kondisi masyarakatnya, yang seolah-olah seperti terasing, yang merupakan dampak langsung dari setiap proses pembangunan ekonomi industrial yang berlangsung cepat.


Ada pula yang bertanya tentang eksploitasi lingkungan, demi keuntungan segelintir orang, Mja Nashir pun menjawab melalui film ini, yang secara visual tampak sepertikegelisahan dirinya dalam memandang realitas sehari-hari, tentang kehidupan yang mentradisi yang hilang dalam sekejap karena arus globalisasi, karena ketidakmampuan kita dalam mempertahankan apa yang kita yakini, ketika kita mengkampanyekan untuk mencintai produk indonesia, mja nashir sudah lebih dulu untuk kembali ke akar kehidupan sosial psikologis mereka yang tradisional. Mereka yang ada di perkampungan batak pun bangkit dan bergabung untuk membentuk kelompok-kelompok relawan yang mengerjakan kembali tradisi nenek moyang mereka selama ratusan tahun, lalu mereka namakan proyek pulang kampung,bersama sandra niessen tentunya, dalam rangka mengembalikan rasa kepercayaan diri mereka yang telah diporak-porandakan oleh proses urbanisasi. Mereka memulihkan kembali identitas mereka sebagai manusia batak yang telah dilunturkan oleh proses modernisasi.

Di luar sana, ketika banyak yang menggunjingkan islam nusantara, kita malah saling berbagi tentang pengalaman keislaman kita secara tidak langsung, ketika kita latah menyuarakan hijab atau jilbab,bahkan ketika si raja dangdut mendeklarasikan partai idaman, kita justru larut dalam peristiwa diskusi budaya, agar politik tidak mengacak-acak keindonesiaan kita. Perubahan kualitas inilah yang seharusnya melahirkan perubahan budaya yang bisa merevitalisasi tradisi kita, dan mja nashir bersama kawan-kawangenerasi 1980-ansebagai anak-anak revolusi informasi, memberikan sumbangan itu, walau harus disempurnakan lagi.

2 hari sebelum lebaran, kita pun sering mendengarkan lagu Selamat Lebaran, yang ditulis oleh Ismail Marzuki, yang mengalun di banyak tempat. Mengingatkan kita tentang sepuluh hari terakhir dalam malam-malam ramadhan, yang membuat kita ingat pada-Nya,  namun kita malah lebih khusyuk jika beri’tikaf di mall atau supermarket sambil menawar kurma-kurma dan baju koko. Dan kita pun gembira menyambut lebaran, seperti seorang wartawan yang menulis berita singkat tentang NU dan Muhammadiyah yang berlebaran pada tanggal yang sama, alhamdulillah.

Akhir film ini,  yang dipersembahkan kepada penenun-penenun yang ada di kampung-kampung, yang memberikan inspirasi kepada beberapa pemikir dan pemuda batak, juga lainnya, tentang pentingnya nilai dari tradisi tenunan ulos batak ini, dinegeri kita, juga berharga di mata dunia, membuka mata kita semua.

Agus Supriyanto

Kab.Batang, 15 juli 2015. 

Jumat, 10 Juli 2015

Pemutaran & Diskusi Film Rangsa Ni Tonun

Batang Heritage menyelenggarakan pemutaran film dan diskusi "Upaya Revitalisasi Tradisi Melalui Film Rangsa Ni Tonun" bersama Mja Nashir, selaku sutradara. Pada Rabu, 15 Juli 2015.

Berikut kutipan yang diambil dari keterangan pada poster film pada album dokumentasi foto Mja Nashir di facebook.
Sebuah film berjudul “Rangsa ni Tonun” (Sutradara Mja Nashir, Produser Sandra Niessen, illustrasi musik Suarasama) yang mengisahkan tentang teknik tenun ulos Batak dari kapas menjadi benang, sampai menjadi kain yang indah. Dibalut dengan bahasa visual artistik yang menyiratkan hubungan ulos dengan alam mythology dan kosmologi Batak. Diangkat dari tradisi sastra kuno Batak, “Rangsa Ni Tonun” yang pernah hidup dalam masyarakat Batak pada masa2 silam dan dituliskan kembali (ditintakan) oleh Guru Sinangga ni Aji pada akhir abad 19. Dan akhirnya dibuka kembali oleh Sandra Niessen, seorang antropolog Belanda-Kanada yang telah melakukan penelitian ulos secara intens di Tano Batak selama 30 tahun. Naskah kuno ini digelutinya sejak awal riset di tahun 1979.
Fim diperankan oleh seorang maestro penenun ulos, Tihar Sitorus (Ompu Okta Boru) dan Sardi Tambun (Ompu Okta Doli) yang berperan membawakan rangsa, untaian kata-kata puitik, serta diperankan oleh para penenun dari berbagai daerah di Tano Batak.