Jika hari sudah kamis wage, maka warga masyarakat kota batang, akan menantikan malam jumat kliwon. Sebuah malam kliwon yang mengundang keramaian. Keramaian yang menyajikan banyak hal, mulai dari ramainya pedagang kelontong, penjual di kaki lima, saudagar keliling, atau bisnis jasa. Juga muda-mudi yang memadu kasih. Namun keramaian yang ditimbulkan bisa berbuah baik jika dikelola dengan baik dan benar. Akan tetapi bisa juga menjadi buruk dan kacau jika banyak yang tidak memperdulikan norma-norma masyarakat, baik yang diwariskan atau pun tidak.
Malam kliwonan, terkadang banyak menimbulkan perasaan tertentu dalam hati masyarakat. Perasaan tersebut bisa menggejolak, di sebabkan tentang keramaian yang tidak beraturan, mulai dari manusia yang semrawut, kendaraan umum yang berhenti sembarangan, parkiran yang tidak tertata dengan santun, atau para pengendara yang melawan arah atau bahkan pengemudi atau pejalan kaki yang melanggar lalu lintas lainnya, dan ini bisa menimbulkan keresahan di masyarakat, dan merusak peradaban yang sudah lama dibangun oleh masyarakat kota itu sendiri.
Keramaian yang ditimbulkan sangatlah wajar, terutama pada saat ada acara seperti malam kliwonan yang sudah menjadi simbol masyarakat kota batang, bahkan sudah menjadi tradisi di kota ini, seolah tanpa batas. Bahkan selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat banyak, dan dinanti-nanti warga dari luar kota ini. Keramaian kliwonan ini banyak sekali dampaknya.
Keramaian yang ditimbulkan sangatlah wajar, terutama pada saat ada acara seperti malam kliwonan yang sudah menjadi simbol masyarakat kota batang, bahkan sudah menjadi tradisi di kota ini, seolah tanpa batas. Bahkan selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat banyak, dan dinanti-nanti warga dari luar kota ini. Keramaian kliwonan ini banyak sekali dampaknya.
Dampak yang paling utama adalah alun-alun kota yang selalu digunakan dan perlu dirawat secara terus menerus usai acara kliwonan ini ketika selesai keesokan harinya, atau ruang terbuka untuk umum yang seharusnya bisa digunakan masyarakat untuk apa saja menjadi terganggu, atau kurang nyaman untuk sementara waktu, bahkan menimbulkan pemandangan yang berbeda, karena sudah membaur menjadi peristiwa yang saling bercampur, mulai dari menjadi peristiwa budaya, aksi seni, kegiatan ekonomi, kampanye politik dan ajang bergunjing bagi masyarakat.
Dari situ kita mengetahui bahwa alun-alun kota yang selalu diinjak-injak tiap malam jum’at kliwonan, atau bahkan tiap hari, bisa menjadi tidak tertata indah lagi, bahkan mungkin rusak parah karena ulah kita semalaman ketika menggelar acara kliwonan di kota ini.
Mungkin dahulu, kaum elit hindia-belanda, para priyayi yang terlihat berwibawa, kaum societet yang berlimpah harta, dan noni-noni yang mooi indie dari wolanda, sangat necis dan bersemangat, ikut menghadiri dan menikmati acara seni budaya, termasuk acara kliwonan ini (mungkin saja). Sambil menyantap kuliner lokal yang nikmat dan bergaya. Sambil berdansa dan menikmati lagu kroncong nostalgia. Atau sekedar duduk-duduk berdiskusi mengenai harga kakao dan gula, dan ekspor kopi ke eropa. Lalu bagaimana kondisi pabriknya, juga rempah-rempahnya. Tak peduli dengan kaum pribumi yang resah, serba kekurangan hidupnya, sebab dieksploitasi tanah dan tubuhnya, hingga berdarah dan berurai air mata, hingga bertahun-tahun lamanya, sampai dana usaha yang terkumpul oleh kompeni cukup untuk membangun infrastruktur dari amsterdam hingga rotterdam, demi kemakmuran negeri sang penjajah. Dan kita hanya merasakan sedihnya. Sangat tak terperi. Seperti ruang terbuka di kota ini yang makin sempit. Dan sedikit. Menghimpit hidup warga kota ini.
Tradisi kliwonan di kota batang, tidak hanya di hadiri oleh kaum santri dan abangan saja. Ada petani dan priyayi. Mungkin juga selir para raja. Maupun Prajurit-prajurit istana. Hingga Abdi dalem ratu wilhelmina, dulunya. Bahkan ada juga orang keturunan tionghoa. Sebab zaman dahulu, wilayah alun-alun kota batang, mungkin penuh rawa dan sawah, jalan-jalan masih berupa tanah yang belum rata, hanya krikil bercampur tanah berdebu yang merah warnanya. Yang lewat pun hanya kendaraan berupa kuda, mungkin sedikit sekali jumlahnya. Belum ada jalan protokol, tapi banyak jalan setapak, yang dibuat secara swadaya oleh masyarakat kita yang hidupnya bertani dan toleran, khas desa-desa di pulau jawa. Juga alun-alun kota yang menjadi pusat peraduan ideologi dan budaya.
Kliwonan berpusat di alun-alun kota, dan secara arsitektur punya makna. Dan penjajah pun memahaminya, bukan sekedar singgah untuk menjajah atau mengambil rempah-rempah saja.
Dari gambaran tersebut, kita bisa membayangkan bahwa dulu, kliwonan diadakan secara sederhana. Lapangan alun-alun belum tertutup dengan batako trotoar. Belum ada relief terakota, belum beraspal hitam yang berbau timbel. Bau harum tanahnya beda, embunnya segar terasa, rumputnya hijau meninggi melambai-lambai, penuh bunga ungu yang dihinggapi kupu-kupu, pohon ringinnya rindang membentang, di pinggirnya berjajar pohon-pohon lainnya, untuk menaungi diri dari surya, umurnya pun panjang, juga tiada aspal yang bergelombang apalagi jalan berlubang, juga tiada pedagang yang beratap terpal, hingga berjubal-jubal. Yang ada cuma pedagang keliling gendongan, membawa peralatan dari satu tempat ke tempat lain berjalan kaki, penuh keringat namun terhormat, tidak gila hormat seperti antek-antek penjajah, dengan penerangan obor dan lampu teplok seadanya.
Pada masa itu, minyak tanah masih murah, Listrik belum merajalela, radio masih langka, apalagi televisi, yang menjadi tontonan warga satu desa. Pengeras suara tidak memekakkan telinga. Kertas koran hanya ada di istana, rakyat berjalan tanpa alas kaki dan busana seadanya. Sedang makanan jadi barang yang berharga, para penjaja kaki lima bisa dihitung dengan jari kita. satpol pp belum dikenal adanya, uang pun hanya dibawa oleh tangan-tangan mulus non-pribumi saja. Dan Para inlander hanya sebatas hamba-hamba yang naif jua.
Dengan adanya acara kliwonan ini, masyarakat bisa berkumpul bersama-sama untuk saling berkomunikasi, berbagi kenangan, bercerita tentang masa lalu yang hilang, bahkan membagi makna pada momen malam jumat kliwon, tetapi ada juga yang sedang mencari-cari makna, untuk hidupnya di daratan yang fana. masyarakat bisa menghadiri acara kliwonan sejak sore hari, hingga malam bermandi cahaya. Bagi yang santri menghadirinya selepas isya. Sebab setelah asar mereka terbiasa menziarahi makam pekuburan leluhurnya. Untuk bersih-bersih, nyekar, dan membacakan doa. Berharap mendapat ijabah dari Yang Kuasa.
Tradisi kliwonan ini membuka ruang bagi masyarakat untuk bisa sekedar tegur sapa, saling berbagi kisah, tentang kenangan masa lalu di zaman perang yang gelisah, dan tentang nenek moyang kita yang dipaksa kerja oleh penjajah. Tentang tanah yang dirampas secara paksa, juga tentang cita-cita ingin merdeka, dengan dada terbuka. Kliwonan ini memberi kesempatan bagi masyarakat untuk menafsirkan kembali tentang fungsi ruang terbuka untuk umum, lapangan untuk kita mengadakan acara di tengah kota, dan juga fungsi para ambtenaar kota praja. Juga aksi massa, jika ada. Bukan untuk membangkang pada sang wedana apalagi kepada raja, tetapi untuk unjuk rasa, melaporkan kekeliruan yang mungkin tercipta oleh pemerintah ataupun raja.
Masyarakat yang pergi ke alun-alun, adalah sekedar jalan-jalan untuk menyegarkan ingatan, melihat-lihat seni pertunjukan, bahkan membeli jajan pasar, untuk keluarga mereka, yang biasanya hanya ada pada saat momen-momen tertentu saja, sehingga mereka menanti-nanti untuk bisa membelinya lagi saat jeda. Adapula yang berwisata, menghabiskan sisa uang di kantong celana, sambil mengelilingi tiap sudut kota, kadang memotreti kotornya stasiun kereta, bahkan mengamati seni budaya lokal yang ada, dan terkadang membeli cinderamata khas kota. Yang hanya ada satu kali tiap 35 hari saja. Oleh karena itu saat-saat kliwonan sangat dinanti-nanti oleh banyak masyarakat kita.
Mereka yang datang dari dusun jauh terpencil, biasanya datang beramai-ramai dan berbondong-bondong menggunakan truk atau mobil bak terbuka. Untuk sesaat menghadiri acara kliwonan ini. Mungkin ada keterikatan batin dengan tradisi ini. Padahal banyak dari kita yang takut untuk keluar malam pada saat malam jumat kliwonan, tetapi karena mereka orang jawa, punya rasa tersendiri untuk mendatangi acara tersebut. Hingga mereka tak takut lagi dengan mitos malam jumat kliwon yang terkesan (bahkan dikesankan) sangat mengerikan, terutama di pedalaman atau juga di kota-kota yang memiliki ruang terbuka untuk kita.
Bagi masyarakat yang hidup di wilayah luar kota batang, mereka tertarik untuk ikut serta, ada pula yang memiliki ide untuk berniaga, dan akhirnya banyak juga para saudagar bersahaja, yang datang dari daerah yang jauh dari penglihatan mata. Bahkan ada di antara mereka yang hanya ngalap berkah, agar tak serakah, dari tradisi kliwonan yang sudah lumrah. Tidak peduli rugi ataupun susah, asalkan hati bisa sumringah. Dengan harapan bisa mendapat kebaikan yang berlimpah.
Bagi masyarakat yang hidup di wilayah luar kota batang, mereka tertarik untuk ikut serta, ada pula yang memiliki ide untuk berniaga, dan akhirnya banyak juga para saudagar bersahaja, yang datang dari daerah yang jauh dari penglihatan mata. Bahkan ada di antara mereka yang hanya ngalap berkah, agar tak serakah, dari tradisi kliwonan yang sudah lumrah. Tidak peduli rugi ataupun susah, asalkan hati bisa sumringah. Dengan harapan bisa mendapat kebaikan yang berlimpah.
Untuk menjaga ruang umum yang terbuka bagi masyarakat, agar tetap terjaga dengan baik maka kita sebagai warga kota batang yang di anggap sebagai masyarakat yang taat pajak, harus ikut pula berperan serta mengingatkan pemerintah kota, atau pimpinan daerahnya, yakni pak bupatinya atau dinas-dinas terkait. Agar masyarakat tidak terganggu dengan keramaian ini, maka untuk sejenak masyarakat bisa membagi lokasinya di alun-alun kota yang sebagian untuk pedagang, yang lainnya untuk masyarakat secara umum, atau alun-alun kota untuk masyarakat umum, dan pinggiran alun-alun yang berbatako bisa untuk berjualan para pedagang, yang lainnya bisa berjualan di jalan veteran misalnya, jika kelebihan manusia di alun-alun kota membludak, maka harus ada alternatif, misalnya pindah ke tempat lain bagi siapa pun yang ingin mengalah, ke lapangan dracik misalnya. Lokasi parkiran juga bisa pindah entah ke tempat mana pun agar tidak mengganggu acara kliwonan ini, juga agar tidak menimbulkan kemacetan di sana-sini, khususnya di seputar alun-alun kota. Juga untuk menghindari penguasaan kota.
Namun, ruang terbuka umum dari suatu kota sangatlah penting, bukan hanya untuk penghijauan semata, yang menghijaukan kota dengan tetumbuhan berbagai macamnya, atau tanaman-tanaman penghias kota, yang kecil-kecil namun indah di pandang mata, menyehatkan dan menyegarkan. Tidak melulu memandangi yang iklan-iklan saja. Syukur-syukur ada yang menunjukkan kepada tradisi penghijauan lahan terbatas di pinggiran kota, yang kegunaannya bukan hanya untuk kesehatan tubuh kita semata, atau pertukaran udara sejuk saja, bahkan bisa untuk melawan polusi udara kota yang semakin menyesakkan indera kita, juga pikiran dan hubungan kemasyarakatan kita semua.
Ruang terbuka untuk umum yang ada di tengah alun-alun kota sangatlah banyak fungsinya, mulai dari keindahan tata kota, nilai seni arsitekturis, juga sebagai simbol kota, tempat untuk rekreasi masyarakat, menjadi tujuan wisata, bahkan arena bermain untuk anak-anak kita, yang balita yang tidak punya tanah memadai di tengah-tengah hidup kita. Masyarakat yang bahagia adalah masyarakat yang memiliki ruang terbuka hijau, yang bisa digunakan untuk menumpahkan segala unek-unek tentang kotanya. Juga tentang bakat dan minatnya. Dan kota yang baik adalah kota yang berkarakter, juga memiliki ruang terbuka di tengah kota yang digunakan untuk para warganya, bahkan kalau perlu punya slogan yang hidup dan membekas di hati masyarakat, karena mengilhami setiap hidup masyarakatnya.
Ruang terbuka yang dipergunakan untuk masyarakat ini bukan hanya sebagai penghijauan saja, atau menuruti aturan lingkungan hidup yang sehat saja, namun perlu juga diperhatikan tentang perebutan ruang terbuka ini, agar tidak disalah-gunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, atau oleh oknum-oknum tertentu. Ruang terbuka yang ada di alun-alun kota ini milik masyarakat banyak, namun ketika kliwonan masyarakat bisa mengambil inisiatif agar tidak saling berebut. Apalagi suasana di kota sudah sempit dan sumpek, maka diperlukan penyegaran di ruang terbuka ini, juga untuk melatih suasana hati kita semua hingga mencair dan menginspirasi.
Tradisi kliwonan ini akan tetap hidup subur, meski tanpa ada yang mengatur. Karena acara ini sudah menjadi tradisi sejak masa silam, dari kita lahir sampai masuk ke liang kubur. Bahkan tradisi ini bisa menggerakkan tradisi-tradisi baru untuk saling bermunculan. Memunculkan yang tersembunyi. Kliwonan harus jadi pendorong, untuk lahirnya gerakan moral budaya pada masyarakat kita, agar hidup tak terasa kering dan hampa, meskipun di tengah alun-alun kota, di ruang yang terbuka.
Dan pada intinya, kita atau siapapun bisa seperti nenek moyang kita, yang selalu menasehati anak cucunya, tentang hidup yang sebentar saja, agar menjadi bermakna dan berguna bagi dunia, juga bermanfaat untuk ruang kota yang terbuka. Sehingga acara kliwonan ini menjadi oase bagi kita semua, juga bagi seni tradisi dan budaya kita, di ruang terbuka di tengah kota, dengan harapan agar kita sebagai wong cilik, bisa ikut serta dalam lautan kliwonan di alun-alun kota. Bersama banyaknya manusia, yang berputar mengelilingi semesta kota raya. Hingga kita bisa tertawa meski zaman sedang susah.
Agus Supriyanto
Candiareng, kamis wage 30 april 2015,